Kamis, 09 Juni 2011

Celoteh Camar Dalam Angin


Sajak sajak mulai dikumandangkan Saat gembala muda bercengkrama Mengiringi tarian si gadis belia nan ceria Suara polos tersipu malu mengusik tidurku Derap kaki meskipun gontai tapi pasti Jari menari menghentak hati memaksa diri

Kaku, diam …. Sejauh mata memandang Hanya hamparan pasir kehidupan Tak da suara, sepi, sunyi Anginpun enggan berdesir

Tak tahu kemana harus melangkah Tapi yang pasti diri mengetuk hati Mata terpejam Kepala tertunduk Lidah kelu Kata demi kata diuntai Dari bilik dada yang sesak romantika

Dua sejoli sedang murung diri Kenapa … Karna hati tertusuk duri Bukan dua yang menjadi Bukan malam ataupun siang Langit maupun bumi Air dan api Tapi … .

Burung camar beterbangan Menyambar daun cemara menyusun peraduan Saling bersiul penuh makna di udara Ada yang mencibir Ada yang terlena Bergumam kecewa Si camar berkicau akal Temannya bersiul hati Si camar berkicau nafsu Temannya bersiul rasa Mungkinkah camar – camar terbang bebas Dalam satu kicauan satu siulan

Bleberrr …. Camar – camar terbang ketakutan Seekor cicak merayap bersambang Cicak pertapa penghuni gua Hendak memberi atau mencari Si camar ataukah daun cemara...??

Sampai kapan harus mengurung diri Tanpa jati diri Dalam kepalsuan hakiki Wahai camar kecil …. Kenapa harus datang jika dicaci Kenapa mengundang jika mengunci hati Dalam keremangan jiwa Di sela kemasgulan Dalam biduk kemunafikan Riuh rendah suara camar kepada angin

Angin barat berhembus ringan Membelai daun – daun semboja Tak nyata tapi ada Kemana pergi selalu mengikuti Pergi tapi tinggal Diam tapi bicara Lembut goresan penamu Setulus salju menuang warna Membentuk etika Citra pelangi Gunung berubah bukit Sungai menjadi jalan Hamparan sawah bak gurun Mendung berarak di langit Rintik – rintik hujan Lukisan berserakan

Dewa dewi menari di atas bengawan Dengan seribu suka sejuta tawa Mungkinkah menyingkap derita Mengusir duka nestapa Menghapus kecewa Dari insan yang telah terhina di taman siswa

Wahai penguasa gangga Hampiri, Sentuh, Rengkuhlah, Resapi, Muka – muka penuh coretan Sepasang mata kering kerontang Bibir penuh bekas jahitan Suram nan kusam Wajah layu, lelah tanpa kehidupan

Hayati dengan rasa selaksa jiwa Niscaya hati bermata kan gulana Mengerti kisah sejati Romantika hati berduri Manusia pilihan Pingitan kaputren solo Kandang bidadari durga bethari.


Selasa, 07 Juni 2011

Di Balik Kabut

Ada yang terluka parah
Jatuh, tertimpa jembatan kehidupan
Sendiri di dasar jurang kehinaan
Ada yang mabuk arak kehidupan
Berpelesiran terlena tidur dalam sadar
Terlena gelap dalam terang
Lalu menjadi bisu, tuli dan buta
Kemudian ……
Mati di dalam kehidupan
Aku
Terbelenggu hawa nafsu
Lupakan akal
Lupakan ilmu
Apalagi perasaan
Menjadi bangkai hidup
Hanya bayangan diri melangkah tanpa arah
Aku
Terluka tanpa rasa
Maka hilang cita
Terlena dalam mimpi
Saat bangkit benah – benah
Saat aku merasa
Aku mau kemana?
Saat aku rasa
Susu terasa tuba
Saat aku rasa
Anjing penjaga menjelma serigala
Maka aku
Menjadi manusia tanpa busana
Duduk tanpa singgasana
Berdiri telanjang kaki
Lalu menjelma
Menjadi aku yang terpaksa harus mencari siapa aku
Aku dengar
Ada orang mau mati bertanya
Di sana aku dengan siapa?
Hidup panjang tak ada sudah
Bagai samudera tanpa tepi
Ada gelombang
Ada badai
Ada lapar ada dahaga
Lalu aku berbekal apa?
Barangkali aku belum akan mati
Kalau mau mati
Biarkan sekarang saja
Kalau besok atau lusa
Bahkan kapan saja
Aku semakin takut
Malah menjadi lebih buruk lagi
Barangkali aku belum akan mati
Kalau mau mati
Mengapa hidup?
Hidup
Dan aku mengelana sendiri
Hidup bukan mati
Harus akui
Hidup mengikuti bayangan diri
Harus akui
Padahal bukan bayangan
Tapi sinar yang dipantulkan
Maka, hidup harus akui ada matahari
Aku terdiam sejenak
Kemudian benah-benah lagi
Semakin mendaki
Maka aku menjelma
Menjadi aku melepas baju
Aku mengelana lagi
Bahkan terbang tinggi
Dekat bintang
Dekat bulan
Dekat matahari
Aku terbakar……
Bayangan diri berganti
Kemudian lupa
Kepada sawah
Kepada ladang
Kepada bukit
Kepada jurang
Kepada pohon
Kepada burung
Bahkan kepada bintang
Dan juga kepada bulan
Yang ada hanya matahari membakar diri
Dan lupa lagi
Aku siapa?
Lupa lagi
Aku mau kemana?
Lupa lagi
Aku untuk apa?
Aku tidak peduli
Makin tinggi semakin mendaki
Berjalan mengabdi
Bisu, Buta, Tuli
Lalu lumpuh
Kemudian melebur dan menghilang
Tinggal matahari
Sesuka hati
Melepas rindu dan mamadu kasih
Ketika tabir malam disingkapkan dan fajar pagi menghampiri
Ternyata aku masih ada….
Bagai bangun dari tidur panjang
Dari mimpi di siang hari
Bahkan hidup lagi
Namun, meski kaki tangan masih sama
Ternyata bayangan telah berbeda
Karena hidup……
Maka aku mencari bumi lagi
Aku dengar guru berfatwa;
“Harus akui
bukan aku memilih
tapi hanya dipilih
tapi juga benar
harus akui
harus memulai memilih melangkah mengabdi
hanya untuk yang Memilih”
Aku dan matahari
Maka bumi terbentang di depan menjadi semakin luas
Melangkah
Menunggu titah
Sampai hari berganti
Aku dan matahari bersatu lagi
Aku dan matahari
Di depan mata
Sawah luas membentang
Benih di tangan harus ditanam
Wahai yang ada di hati
Datangkan angin-Mu
Membawa mendung
Menurunkan hujan
Agar tanahku menjadi subur
Dan benih yang ditanam
Tumbuh dan bersemi
Di bumiku yang baru
Aku mengelana lagi
Berlayar membawa beban
Memecah gelombang
Menebas badai
Menuju pulau harapan
Sampai kapan…….?
Sampai bumi berganti
Aku dan matahari bersatu lagi

1994, sebagian menyunting dari guratan seorang Guru yang ada di Probolinggo